Sunan Rumenggong
Eyang Sunan Rumenggong
Prabu
Jaya Kusuma 1 atau lebih dikenal Sunan Rumenggong memiliki nama asli Syeikh
Maulana Muhammad. Ia lahir pada akhir abad ke-14 M dan memiliki gelar Sang
Karanten Rakean Layaran Wangi. Pada kurun waktu 1415 M mendirikan kerajaan Kerta Rahayu yang berpusat
di Kampung Buniwangi/Poronggol Desa Ciwangi, Kecamatan Limbangan, Kabupaten
Garut.
Dalam mengatur
tata kelola kerajaan, Sunan Rumenggong menggunakan asas keislaman yang dikenal
dengan asas kesiliwangian melalui pendekatan Tri Tangtu Dibuana. Adapun 3 aspek
tersebut merupakan dasar pokok kehidupan sehari-hari yang dirumuskan dalam asas
silih asah, silih asih, silih asuh. Manifestasi dari asas tersebut melahirkan
sebuah kerajaan Kerta Rahayu suatu wilayah teritorial yang tata tentram
raharja, gemah ripah loh jinawi, atau baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.
Karena
Sunan Rumenggong mampu merealisasikan silih asah, silih asih, silih asuh, maka
beliau diberi gelar Sunan Rama Hyang Agung, yang mana menjadikan beliau sebagai
Raja sekaligus Resi, begitupun menjadikan beliau ulama sekaligus umaro.
“Pelafalan
Rama Hyang Agung oleh masyarakat sunda menjadikan beliau dikenal dengan sebutan
Sunan Rumenggong,” terang Ketua Yayasan Assa'adah Limbangan, KHR Imam
Abdurachman dalam acara Ziarah Akbar ke makam Kanjeng Sunan Rumenggong, Jumat
(28/7/2023) bertepatan dengan 10 Muharram.
Selain
itu, Sunan Rumenggong juga memiliki gelar Sunan Sepuh karena keluhuran martabat
Sunan Rumenggong yang menjadi sesepuh para sunan, wali, ulama, termasuk sesepuh
senopati panglima perang.
Indikasi
Sunan Rumenggong menjadi sesepuhnya para ulama yaitu, Syeikh Abdul Jabbar (Mbah
Lembang Cibiuk) berputra Syeikh Abdul Qohhar (Mbah Ketib Limbangan) ulama ahli
tafsir, qiro'ah yang merupakan trah Sunan Rumenggong dari jalur laki-laki.
Begitupun
Syeikh Muhammad Ja'far Shidiq Cibiuk dan adiknya KH. Rd. Faqih Ibrahim yang
bergelar Dalem Penghulu Cicadas yang masih keturunan Sunan Rumenggong dari
jalur Sunan Cipancar. Rd Faqih Ibrahim melahirkan ulama besar pada abad ke-18 M
yaitu, KH. Rd. Nur Muhammad pendiri pesantren Cikelepu yang kemudian melahirkan
para ulama pimpinan pesantren diantaranya Pesantren Wates Limbangan, Ponpes
Sukamiskin Bandung, termasuk Mama Syatibi Imam Besar Penghulu Masjid Besar
Sumedang.
"Sunan
Rumenggong berputra Prabu Munding Wangi berputra Sunan Silalangu. Adapun versi
lieteratur lain menyebutkan Sunan Rumenggong berputra Prabu Layakusuma,
berputra Prabu Limansenjaya Sucinaraja, berputra Prabu Jaya Kusumah/Adipati
Liman Senjaya Kusuma yang masyhur dengan Kanjeng Sunan Cipancar sehingga secara
garis besar bahwa Sunan Cipancar merupakan cicit daripada Sunan Rumenggong,”
ungkapnya.
Di antara
keturunan Sunan rumenggong yang lain dari jalur laki-laki yaitu, Raden Surayuda
Malangbong bin Rd. Wirareja (Bupati Pamanukan Subang) bin Rd. Suryapraja I bin
Dalem Wangsadita I bin Rd Kudawarsa bin Nayawangsa bin Dalem Santowaan bin
Sunan Silalangu Sunan Cisorok (Prabu Munding Wangi) bin Kanjeng Sunan Rumenggong,
yang masih sepupuan (Sabray Mindo) dengan Pangeran Kornel Sumedang/Pangeran
Kusumadinata IX bin Rd Suranagara II bin Rd Suranagara I bin Dalem Wangsadita
I.
Lebih
lanjut Ajengan Imam mengungkapkan, karena minimnya literatur tulisan maupun
lisan, sehingga posisi dan peran Sunan Rumenggong kurang dikenal dalam kancah
sejarah lokal maupun nasional.
“Namun
meskipun kurang dikenal, mungkin itu merupakan salah satu bentuk tawadlu yang
menjadikan Sunan Rumenggong sosok yang mastur. Lalu, beliau menyitir sebuah
adagium Kam Min Masyhurin min Barokatil Mastur ”banyak orang tenar karena
barokah orang mastur (wali yang menyembunyikan diri),” pungkasnya.
Pewarta:
Bobon Rivan Mardlotilah